Search

Membeli Genting Tanpa Uang, Cukup dengan Buah-buahan - Pikiran Rakyat

SEBUAH lapak Pasar Desa Ciborelang, Jatiwangi, Majalengka, menjajakan dagangan yang berbeda siang itu: Genting. Mata uangnya pun tergolong unik: buah-buahan. Dengan mata uang tersebut, pembeli bisa memperoleh genting lengkap dengan gambar buah-buahan di dalamnya. Menariknya, gambar tersebut merupakan buah yang diberikan pembeli kepada sang seniman, lengkap dengan cara memotongnya dan jumlahnya.

Aktivitas yang akan berlangsung sampai awal November ini, merupakan bagian dari kerja seni Jesper Aabille dan tiga teman lainnya. Seniman asal Denmark ini tengah melakukan residensi di Jatiwangi Art Factory (JAF), Jatiwangi, Majalengka, hingga 1 November mendatang. Pada kesempatan kali ini, dia ingin mengajak masyarakat Jatiwangi untuk merenungi makna nilai, perdagangan, dan komoditas.

Jatiwangi sendiri, menurut Jesper, pernah jaya dengan industri gentingnya. Pada masa tersebut, dia melihat ada hubungan antara masyarakat dan tanah liat yang kemudian membangun definisi tentang nilai masyarakat Jatiwangi modern. Hubungan inilah yang berusaha Jesper telusuri dalam kaitannya kerja seninya.

Selama empat pekan, Jesper berusaha membangun komunikasi dengan para pembelinya. Dibantu oleh penerjemah, seniman yang telah melukis selama 20 tahun ini mengajak para pengunjung untuk memaknai kembali arti nilai, perdagangan, dan komoditas. “Karena berdagang tidaklah sesederhana yang kita lakukan selama ini. Ada proses yang panjang untuk itu,” ungkap Jesper.

Menurut Jesper, aktivitasnya tidaklah baru. Masyarakat tradisional sudah melakukan proses barter ini sejak lama. Komoditas dan nilai mereka tentukan melalui mekanisme tawar-menawar yang cukup alot. Sebuah barang harus ditukarkan dengan komoditas lainnya yang memiliki nilai yang sama. Nilai ini tergantung dari fungsinya, cara mendapatkannya, dan kegunaannya bagi kedua belah pihak. Semakin besar kegunaannya dan semakin sulit cara mendapatkannya, semakin besar juga nilai barangnya.

Makna perdagangan

Pun Jesper di Pasar Ciborelang siang itu. Dia ingin mengajak masyarakat Jatiwangi untuk memaknai genting dan lukisannya dari jenis dan jumlah buah yang dilukisnya. Genting-genting tersebut sudah dilengkapi dengan tali yang siap digantung di dinding di rumah sang pembeli. Setiap melihatnya, sang pembeli bisa merenungkan makna nilai, komoditas, dan perdagangan. 

Jesper sendiri tidak ingin menentukan pengalaman dan perenungan para pembelinya secara spesifik. Meskipun demikian, seniman lukis di bidang pangan ini punya harapan para pembelinya mampu mengapresiasi proses perdagangan dan orang-orang yang berperan di dalamnya.

Pasar Ciborelang bukan satu-satunya tempat berkesenian rombongan seniman dari Denmark. Ada juga Pesantren Al Mizan dan Puskesmas Jatiwangi yang sama-sama terletak di kecamatan Jatiwangi, Majalengka. Di kedua tempat tersebut, dua seniman lainnya menorehkan aktivitas seninya dengan tema yang sama: Living As Clay.

Amalie Frederiksen, kurator sekaligus ketua tim seniman Denmark, menyampaikan bahwa tanah liat merupakan tema sentral aktivitas berkesenian ketiga kawannya selama di Jatiwangi. Menurutnya, dalam dua kunjungan sebelumnya ke Jatiwangi, Amalie menilai bahwa tanah liat masih menjadi mindset masyarakat Jatiwangi modern secara umum.

Terlebih lagi, Jatiwangi Art Factory (JAF), yang merupakan mitra berkesenian Amalie dan kawan-kawan, mencanangkan Jatiwangi sebagai Kota Terakota di Indonesia. Selaras dengan visi tersebut, Amalie ingin mendorong Jatiwangi menjadi Kota Terakota seutuhnya. “Bukan hanya Jatiwangi secara fisik dan visual semata, tetapi juga membangun Kota Terakota dalam pikiran mereka,” papar lulusan master Art Mediation di Sydney, Australia.

Membangun dialog

Sepengamatan Amalie, ketiga tempat tersebut merepresentasikan masyarakat Jatiwangi, yaitu: pasar yang merepresentasikan kehidupan ekonomi, puskesmas yang merepresentasikan kesehatan, dan sekolah yang merepresentasikan pendidikan. Di dalamnya, para seniman membangun dialog dengan masyarakat Jatiwangi sekaligus melakukan pertunjukkan seni (art performing). Selaras dengan tema keseluruhan aktivitas, Amalie menekankan para senimannya untuk mempergunakan tanah liat sebagai media berkesenian.

Amalie sendiri membutuhkan waktu dua tahun untuk riset dan mempersiapkan kerja seninya di Jatiwangi. Setelah kunjungan terakhirnya pada 2018 silam, dia mulai merancang pertunjukkan seninya di Jatiwangi berdasarkan hasil observasinya. Karena seniman akan menjadi ujung tombak aktivitas keseniannya ini, Amalie benar-benar memilah dan memilih orang-orang yang sesuai hasil risetnya.

Bagi Amalie, masyarakat Jatiwangi terbuka dengan hal-hal baru dan gemar berinteraksi dengan orang banyak. Selaras dengan kondisi tersebut, dia pun mensyaratkan mitra senimannya agar memiliki pikiran yang terbuka, berkemampuan komunikasi yang baik, mampu berdialog dengan orang banyak, dan berpengalaman bekerja di luar institusi seni.

Selanjutnya, para seniman terpilih merancang bentuk dan aktivitas berkeseniannya di masing-masing tempat. Meskipun sudah mempersiapkan segalanya dengan matang, tetap saja para seniman ini harus menselaraskan pekerjaan seninya dengan keadaan di lapangan yang berbeda jauh dari imajinasinya. “Karena kita memiliki latar belakang budaya yang sangat berbeda,” ungkap Christian Elovara Dinsen, seniman yang bertugas di Puskesmas Jatiwangi.

Malnutrisi

Di puskesmas sendiri terdapat permasalahan malnutrisi dan makanan bergizi. Tantangannya, Christian ingin membangun pemahaman anak-anak tentang makanan bergizi melalui karya seninya. Oleh karena itu, dia membuat beraneka ragam makanan bergizi dari tanah liat. Nantinya, anak-anak bisa memilih dan merangkai makanan-makanan tersebut.

Sebuah ruangan pun disiapkan untuk para seniman Denmark ini berekspresi. Christian menyulap ruangan tersebut agar ramah terhadap anak-anak. Ruangan puskesmas disulap menjadi lebih berwarna lengkap dengan pernak-pernik berkilauan. Harapannya sederhana, anak-anak tertarik dan senang untuk datang ke puskesmas.

Malnutrisi sendiri disebabkan oleh anak-anak yang tidak mengkonsumsi makanan yang baik. Amalie dan Chrstian berusaha membangun imajinasi tentang makanan ke anak-anak Jatiwangi, sehingga bisa mendorong mereka untuk suka dan mengkonsumsi makanan bergizi. “Jadi, mari kita lihat hasilnya,” ungkap Christian, penuh harap.

Adapun Pesantren Al Mizan Jatiwangi menjadi ruang berkesenian bagi Emil Krog. Dia mengajak 230 siswa beragam usia dari empat kelas berbeda untuk membuat rantai beragam bentuk dari tanah liat, seperti: hati, lingkaran, kotak, dan segitiga. Kemudian, seniman muda Denmark ini akan membakar rantai-rantai tanah liat tersebut dan menyambungkan semuanya dengan menggunakan kawat, sehingga menjadi sebuah rantai yang sangat panjang.

Emil mengaku dirinya terinspirasi dari sosok sang ayah yang merupakan petani. Bagaimana pun, seorang petani selalu dekat dengan tanah yang menghubungkan dirinya dengan leluhur dan semesta. Oleh karena itu, petani harus menjaga tanahnya, sehingga bisa menjaga ingatan tentang orang tuanya dan juga lingkungan sekitarnya.

Ingatan serupa ingin Emil tumbuhkan dalam benak anak-anak Jatiwangi. Mereka diajak untuk merangkai rantai-rantai tersebut di sebuah lokasi di dalam sekolah. Tak lupa, salah satu ujung rantai tersebut akan ditanam di tanah sebagai simbol bahwa anak-anak tersebut tumbuh dari tanah Jatiwangi. “Mereka terkait dengan tanah mereka, leluhur mereka, teman-teman mereka, dan orang tua mereka,” papar Emil

“Tanah liat memiliki clue sosial,” tandas Amalie. Rantai tersebut sebagai simbol bahwa orang-orang Jatiwangi saling terhubung, baik dengan masyarakatnya secara sosial maupun dengan bumi Jatiwangi secara ekologis. “Rantai-rantai ini menghubungkan anak-anak dalam pikiran mereka secara tidak langsung,” simpulnya.

Kolektivitas tanah liat

Meskipun hanya sebulan di Indonesia, empat seniman Denmark mengaku banyak belajar dari masyarakat Jatiwangi. Misalnya saja Jesper Aabile yang kagum melihat cara masyarakat Jatiwangi begitu kreatif mengolah buah-buahan. Selama membuka lapaknya di pasar, Jesper mengaku mendapatkan cara memotong yang lebih baik buah favoritnya, mangga.

“Di sini, buah-buahan matang di pohon,” simpul Jesper. Menurutnya, buah-buahan semacam ini memiliki rasa yang jauh lebih baik dan enak dibandingkan buah-buahan impor. Tentunya, nilai gizinya pun lebih baik dibandingkan buah-buahan yang datang dari negara yang jauh dari Indonesia.

Jesper juga senang berinteraksi dengan orang-orang Jatiwangi yang penuh rasa ingin tahu dan senang berdialog dengan orang-orang baru. Masyarakat Jatiwangi juga sangat ramah terhadap dirinya dan senang membantu orang lain yang menemukan kesulitan.

Senada dengan Jesper, Amalie menilai masyarakat Jatiwangi peduli satu sama lain. Baginya, kondisi ini sangat berbeda jauh dengan masyarakat Denmark yang sangat individualis dan fokus ke personal masing-masing. “Mereka (masyarakat Jatiwangi) berorientasi komunitas,” tandas Amalie.

Karakter komunal ini, lanjut Amalie, membuat masyarakat Jatiwangi memiliki banyak waktu untuk berbincang-bincang dengan banyak orang. Hasilnya, mereka kerap menggabungkan antara waktu bekerja dan interaksi sosial. Hal ini berbeda dengan orang Denmark yang sangat kaku dan memisahkan waktu bekerja dan kehidupan sosialnya. “Mereka (masyarakat Denmark) tidak menyediakan banyak ruang sosial, sehingga tidak punya benefit nilai kehidupan,” akunya.

Nilai kehidupan ini yang kemudian memperkuat masyarakat Jatiwangi modern. Sebuah nilai yang berangkat dari industri tanah liat berupa genting yang diproduksi secara tradisional. Di dalamnya, mereka saling bekerja sama satu sama lain dan mendefinisikan karakter masyarakatnya yang kolektif, hingga sekarang. (YPS)***

Let's block ads! (Why?)



"buah" - Google Berita
October 25, 2019 at 09:45AM
https://ift.tt/341gEVi

Membeli Genting Tanpa Uang, Cukup dengan Buah-buahan - Pikiran Rakyat
"buah" - Google Berita
https://ift.tt/2ZJsuGa

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Membeli Genting Tanpa Uang, Cukup dengan Buah-buahan - Pikiran Rakyat"

Post a Comment

Powered by Blogger.