JAKARTA – Supermarket menjadi tujuan Ayu Rosidah selepas pulang kerja. Maklum saja, perempuan berusia 23 tahun tersebut mesti mencari bahan makanan untuk mengisi stok di lemari pendinginnya yang kian menipis. Buah-buahan menjadi salah satu yang diincarnya.
Apel, mangga, dan pir yang terpajang di rak-rak pasar modern menjadi buah langganannya. Tidak jarang, ia juga menjajal membeli buah-buahan lainnya. Contohnya buah plum. Buah yang tidak diproduksi di Indonesia tersebut pernah menjadi pilihannya karena termakan bacaan yang kerap menyatakan buah tersebut bisa membuat seseorang lebih langsing.
Perkara buah yang masuk ke keranjangnya berasal dari mana tak jadi soal. Yang Ayu tahu, ia bisa memperoleh buah dengan mudah di supermarket.
“Soalnya adanya itu di supermarket," ujarnya kepada Validnews, Minggu (10/11).
Pir dan apel juga menjadi pilihan Rianti tiap kali berbelanja ke hipermarket ketika akhir Minggu. Buah-buahan tersebut dinilai kaya manfaat dan baik dikonsumsi oleh ayahnya yang memiliki riwayat penyakit jantung.
“Apel sama pir itu buat ngehindarin serangan jantung,” katanya perempuan berusia 28 tahun tersebut kepada Validnews, Senin (11/11).
Untuk apel, ia kerap memilih jenis apel Fuji yang biasa diimpor dari Jepang atau China. Pasalnya, apel impor jenis tersebut memiliki tekstur yang lebih “garing”, sesuai kesukaan ayahnya.
“Apel Malang juga krenyes sih, cuma rasanya kurang enak kalau menurut papa,” tambahnya.
Sementara itu, kalau pir, Rianti biasa membeli pir jenis Anjou. Pir tersebut memiliki daging yang lebih lunak, namun garing.
Bukan hanya Rianti, pembeli pir di Indonesia diyakini cukup besar. Mengingat jenis buah dengan kandungan air tinggi ini menjadi buah yang paling banyak diimpor dibandingkan jenis buah lainnya. Sepanjang Januari—September 2019 saja, total volume pir yang masuk ke Indonesia mencapai 82,52 ribu ton. Nilai impornya sendiri menyentuh US$119,50 juta.
Apel menyusul di belakang pir sebagai buah yang paling banyak diimpor. Pada periode yang sama, volume apel impor yang masuk ke Indonesia mencapai 79,17 ribu ton. Dengan jumlah tersebut, nilai impornya bertengger di angka US$175,40 juta.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat volume buah impor yang masuk ke nusantara pada Januari—September 2019 mencapai kisaran 390 ribu ton. Sudah termasuk di dalamnya kacang-kacangan. Sementara itu, nilai impornya berada di angka US$837,95 juta.
Ada kecenderungan nilai impor buah terus menanjak dari waktu ke waktu. Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat, nilai impor buah rata-rata meningkat 17,35% per tahun dalam periode 2014—2018. Pada tahun 2018, total nilai impor buah terpantau mencapai US$1,31 miliar.
Konsumsi Rendah
Fenomena terus membanjirnya buah impor ke nusantara menjadi perkara yang unik. Padahal konsumsi buah masyarakat sebenarnya masih rendah. Proporsi buah-buahan dalam rata-rata menu makanan masyarakat Indonesia per hari hanya mengambil peran 0,85%.
Dalam data BPS tertampilkan, masyarakat Indonesia lebih banyak menyantap nasi ataupun sereal dalam porsi makanan per harinya. Proporsi nasi maupun sereal orang Indonesia mencapai 30,87% dari total menu makanan seharinya.
Menyusul di belakangnya konsumsi makanan dan minuman jadi. Proporsi jenis makanan ini dalam menu masyarakat Indonesia per harinya mencapai 26,03%.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance, Rusli Abdullah, membenarkan masih minimnya konsumsi buah di Indonesia. Dalam setahun rata-rata konsumsi buah masyarakat hanya 35,8 kilogram per kapita.
Jelas nilai konsumsi buah tersebut jauh dari kata ideal. Standarnya menurut FAO, tiap orang seharusnya mengonsumsi buah sebanyak 73 kilogram per tahun. Kementan pun dimintanya untuk menggugah kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi buah. Apalagi sebenarnya, Indonesia kaya dengan berbagai macam varietas buah.
Guna tidak bergantung pada impor, ia pun meminta pemerintah membuat tabel jadwal buah mana yang saat ini sedang memasuki musim panen. Dengan jadwal tersebut, masyarakat diharapkan bisa memiliki kesiapan untuk menyimpan buah.
“Bulan depan kita ada panen ini nih, mereka (masyarakat) sudah siap-siap. Intinya awareness bahwa kita punya banyak buah dan buahnya tidak kalah dengan luar negeri,” ucap Rusli kepada Validnews di Jakarta, Minggu (10/11).
Dengan konsumsi yang masih rendah, toh nyatanya buah impor tetap mengalir deras ke nusantara. Bahkan menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas, impor buah-buahan bakal semakin membanjir ke depan.
Kerap Kalah
Menurut Dwi Andreas, derasnya buah impor yang masuk ke Indonesia tidak melulu karena kebutuhan konsumsi masyarakat. Ada kalanya hujan buah impor dikarenakan kalahnya Indonesia terhadap gugatan negara lain melalui Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
Contohnya pada tahun 2017, WTO memenangkan gugatan Amerika Serikat dan Selandia Baru terhadap Indonesia terkait hortikultura dan produk hewani. Dalam putusan tersebut, Indonesia harus merevisi sejumlah aturan yang merestriksi impor hewan, produk hewani, dan hortikultura, termasuk buah. Padahal, restriksi perdagangan selama ini menjadi andalan pemerintah dalam melindungi petani buah lokal dari serbuan impor buah.
Karena itu, menurut Dwi Andreas, pemerintah ke depan harus lebih berhati-hati dalam membuat aturan dan perjanjian dagang dengan negara lain. Ia menyayangkan keputusan pemerintah yang menghapus kewajiban karantina buah impor, yang mengharuskan buah-buah yang masuk ke Indonesia diuji laboratorium lagi untuk mengetahui apakah mengandung bahan-bahan yang berbahaya.
“Tapi itu kan kemudian dihapus, jadi cukup dengan sertifikat hasil analisis yang dikeluarkan oleh negara eksportirnya, di Indonesia tidak lagi dicek sehingga langsung masuk ke pasar,” ucap Dwi kepada Validnews, Minggu (10/11).
Peraturan semacam itu sah diterapkan. Mengingat negara-negara lain juga kerap mengatur standar mutu produk. Dengan kebijakan ini, produk dari luar negeri yang dianggap tidak memenuhi standar mutu tidak bisa masuk. “Enggak ada masalah dan bisa dilakukan,” tegasnya.
Mantan Ketua Umum Asosiasi Eksportir Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia (Aseibssindo), Khafid Sirotuddin berpendapat senada. Tidak berdayanya Indonesia terhadap masuknya buah impor karena selama ini selalu tergesa-gesa dalam menandatangani perjanjian dagang dengan negara lain. Menurutnya, kerap kali perjanjian itu dibuat tanpa mempertimbangkan kapabilitas dalam negeri. Itu termasuk ketika Indonesia setuju bergabung dengan WTO tahun 1995 lalu.
“Beda dengan China. Kapan sih dia tanda tangan dengan WTO? Ya setelah dia kuat, karena dia tahu WTO kepentingannya Amerika dan sekutunya, setelah posisinya sama kuat. Kita ini belum kuat sudah ngikutin saja,” katanya saat berbincang dengan Validnews, Minggu (10/11) malam.
Kampanye Musiman
Masih minimnya konsumsi buah dan cenderung lakunya buah impor membuat Dwi Andreas memandang perlu segera dilakukan kampanye oleh pemerintah. Tentu saja kampanyenya terkait dengan imbauan untuk mengonsumsi buah.
Yang diharapkan Dwi Andreas adalah kampanye yang menyadarkan masyarakat akan buah-buahan semusim yang memang melimpah di nusantara. Kampanye disesuaikan dengan masa panen buah semusim.
“Kalau misalnya sekarang musim mangga, ayo kita ramai-ramai makan mangga, kita kurangi makan (buah) yang lain-lainnya,” tutur akademisi ini.
Ia mengkritisi kampanye pemerintah yang terlalu umum dan tidak sesuai musim. Seakan buah-buahan selalu tampak tersedia apik di pasar tradisional maupun modern. Padahal, buah-buah itu merupakan buah impor.
Pada saat sama, untuk meningkatkan produktivitas dari produk-produk hortikultura, menegaskan pemerintah harus turut serta dalam menjaga harga di tingkat internasional.
Di mata Rusli, masalah biaya logistik masih menjadi kendala. Dengan biaya logistik yang rendah, seharusnya buah lokal akan lebih laku daripada buah impor. Masyarakat seharusnya bisa membeli dengan murah. Lakunya buah lokal pun akan membuat petani tidak jengah dalam menanam komoditas tersebut.
Perdagangan online lewat marketplace dinilai bisa menjadi solusi untuk memangkas rantai logistik guna meminimalkan biaya. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pun diharap dapat membantu petani untuk mengakses marketplace ini. “Jadi, mungkin nanti akan bisa memangkas middle man (perantara.red),” imbuhnya.
Kembangkan Produk
Adapun asosiasi pengusaha buah, kurang setuju jika buah impor dinyatakan membanjiri negeri. Buah lokal diyakini masih merajai pasar. Khafid Sirotuddin, pimpinan asosiasi ini, mengatakan keberadaan buah impor di pasaran pun tidak sebanding dengan buah lokal. Menurut perhitungannya, dari total volume buah yang beredar di pasaran, buah impor hanya kurang dari 10%.
“Sekitar setahu saya 5–6% mungkin sekarang lebih sedikit dari segi volume,” ucapnya kepada Validnews di Jakarta.
Yang menjadi soal adalah buah-buah produksi dalam negeri memiliki masalah terkait kualitas, kuantitas, dan kontinuitasnya.
Ia menyarankan pada pemerintah supaya mengurangi jumlah lahan tanaman buah milik negara dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan demikian, pemerintah bisa berperan sebagai fasilitator yang menyediakan sarana dan prasarana produksi hingga industri.
Khafid pun berpandangan, sebaiknya pemerintah mengembangkan produksi buah-buahan dalam bentuk kawasan. Artinya, pemerintah membuat minimal area bagi para petani sehingga kontinuitas produksinya juga bisa dijaga.
“Ya enggak mungkin kita menginginkan tiap sepekan bisa kirim satu ton kalau lahan hanya 5 hektare,” selorohnya.
Ke depan, ia berharap impor buah-buahan tropis dapat ditekan. Pasalnya, petani dalam negeri sudah mampu memproduksi sendiri dan ia meyakini rasanya tak kalah enak. Namun untuk buah sub tropis, ia mengatakan pemerintah boleh mengimpor, termasuk secara barter. Artinya, mengimpor buah subtropis yang tidak ada di Indonesia dan sebaliknya mengekspor produk tropis yang tidak ada di negara importir.
Rusli selaku ekonom, sepakat dengan apa yang dikemukakan Khafid. Di benaknya, pemerintah harus menyediakan benih-benih varietas unggul kepada para petani. Teknisnya, Kementan juga mesti bekerja sama dengan kementerian lain untuk membuat klasterisasi buah-buahan.
“Sehingga kalau apel ya Apel Malang, jeruk ya Jeruk Pontianak, nah itu perlu dikuatkan lagi. Jadi ada persepsi di masyarakat kita, ada semacam brand atau image di masyarakat kita,” imbuh Rusli.
Pada intinya, ia menegaskan, pemerintah harus membuat buah lokal menjadi jawara dalam negeri. Pasalnya, impor akan sulit ditekan karena bisa membuat Indonesia kembali berurusan dengan WTO.
Terkait pengembangan buah lokal, Kementerian Pertanian (Kementan) mengamini, perlu meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Ini sudah dilakukan. Pemerintah menurut kementerian ini, sudah dimulai dari menyediakan benih yang unggul.
Direktur Jenderal Hortikultura Kementan, Prihasto Setyanto mengungkapkan, pihaknya juga memberikan pendampingan kepada para petani buah. “Terus kita juga akan memberikan bantuan seperti pupuk, bahan pengendali ramah lingkungan, itu salah satu yang akan kita kerjakan,” ulasnya.
Namun ia mengingatkan, untuk mengembangkan lokal diperlukan kontribusi semua pihak.
Ke depannya, kementerian ini merancangkan, akan mengembangkan kawasan penghasil produk buah-buahan. Cara itu bisa membuat petani saling bekerja sama sehingga meskipun lahannya kecil, produktivitasnya bisa meningkat.
Di samping itu, dengan bekerja sama itu akan lebih mudah bagi Kementan untuk memberikan penyuluhan pada mereka. Diharap, perlahan ini akan membuat buah lokal benar jadi ‘tuan rumah’ di negeri sendiri. (Sanya Dinda, Bernadette Aderi, Kartika Runiasari, Rheza Alfian, Teodora Nirmala Fau)
"buah" - Google Berita
November 11, 2019 at 08:06PM
https://ift.tt/2X6hxde
Paradoks Impor Buah di Tengah Rendahnya Konsumsi - Validnews
"buah" - Google Berita
https://ift.tt/2ZJsuGa
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Paradoks Impor Buah di Tengah Rendahnya Konsumsi - Validnews"
Post a Comment